Perilaku Kepemimpinan Kolektif di
Pondok Pesantren Moderen Al-Amien
Prenduan Sumenep

Abstrak: Kepemimpinan kharismatik selama ini sebenarnya bersandar kepada keyakinan dan pandangan bahwa kyai yang memimpin di pondok pesantren itu didasarkan pada kepada kualitas luar biasa yang bersifat teologis, hal ini untuk mengidentifikasi daya tarik pribadi kyai sebagai pemimpin kekuasaannya berasal dari Tuhan. Sedangkan fenomena kepemimpinan secara kolektif bersandar pada pembagian peran, tugas dan kekuasaan secara bersama, sehingga lahirnya kepemimpinan kolektif di pondok pesantrenpun diasumsi sebagai usaha bersama untuk mengisi jabatan baru karena tuntutan masyarakat yang semakin spesifik dan moderen.

Oleh: Atiqullah, S.Ag., M.Pd.

Kata Kunci: kepemimpinan, perilaku kepemimpinan kolektif, Dewan
Riasah, Pondok pesantren al-Amien

Pendahuluan

Sebuah organisasi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manajerial, haruslah berusaha secara eksternal dalam merangsang dan mendorong para personelnya, selain juga berusaha secara internal dengan menciptakan organisasi yang menarik sehingga mampu melahirkan perilaku (culture) tertentu sesuai dengan yang diharapkan (Gross & Etzioni 1985: 109). Dalam hal ini pesantren sebagai sistem sosial pendidikan telah menempatkan posisinya sederajat dengan lembaga sosial lainnya, yang memiliki budaya, iklim, model organisasi, dan struktur kepemimpinan yang khas guna mencapai tujuan yang telah dibangunnya secara efektif.

Ada lima unsur ekologis sehingga (layak) dikatakan sebagai pondok pesantren yaitu: kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning. Ini merupakan karakteristik-fisik yang membedakan dengan lembaga sosial pendidikan di luar pondok pesantren. Unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana dan prasarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya di pesantren. Kyai, dalam komunitasnya merupakan unsur yang menempati posisi sentral; sebagai pemilik, pengelola, pengajar kitab kuning, dan sekaligus sebagai pemimpin (imam) dalam setiap ritual sosial keagamaan dan pendidikan. Sedangkan unsur lainnya merupakan subsider dibawah pengawasan kyai.

Paradigma tradisional tentang relasi kyai dan santri sebagai komunitas yang dinamis membentuk subkultur yang terbangun secara eksklusif, fanatisme dan esoteris sebagai upaya dalam menjaga tradisi-keagamaan dari pengaruh dunia luar. Hal ini bisa dilihat pada penelitian. bahwa, peran kyai sebagai cultural agent, yang berfungsi menyampaikan informasi-informasi baru dari luar lingkungan yang dianggap baik dan membuang (mengeliminasi) informasi yang dianggap kurang baik atau menyesatkan komunitas pesantren.

Kyai dalam tradisi pondok pesantren tetap merupakan figur (murabby, pengasuh, pembimbing dan pendidik) bahkan sebagai kekuatan moral (moral force) dan ditaati oleh para santri, asatidz (para guru), pengurus dan beberapa pembantu (staf) dalam menyelesaikan tugas-tugas organisasi pendidikan dikalangan pondok pesantren. Ke-figur-an kyai sangatlah tergantung kepada ketinggian ilmu (keulamaan) dan wibawanya. Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 M., bermunculan kyai -kyai sebagai pemimpin besar (akbar) seperti para hadratu al-syaikh; KH. Kholil Bangkalan (1819-1925), KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) Tebu Ireng Jombang, merupakan Bapak spiritual NU dan KH. Achmad Dahlan pendiri organisasi Muhammadiyah dan masih banyak lagi para kyai (sosiologis) dan sebagai ulama’ (ideologis) yang mempunyai pengaruh dan peranan dalam kehidupan sosial masyarakat pada bidangnya masing-masing.

Menurut Mosca (dalam Soekamto, 1984) pada setiap masyarakat tentulah terdapat sekolompok orang yang terpilih dan memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang seringkali disebut dengan pemimpin, sedangkan kebanyakan orang dalam masyarakat itu disebut yang dipimpin.

Istilah pemimpin adalah orang yang mempunyai kemampuan (power) dan kewenangan (authority) untuk mengarahkan dan memberdayakan potensi dalam komunitas manusia yang dipimpinnya sehingga tercapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan bersama. Dengan kata lain, pemimpin dalam struktur sosial berfungsi sebagai pengatur dan pengawas agar tujuan kolektif bisa tercapai, yang selanjutnya power and authority ini menurut Hoy dan Miskel (2001) dinyatakan sebagai kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang pemimpin kehendaki, sebagaimana pula didefinisikan Weber (1974: 152) bahwa kemungkinan dimana seorang aktor yang berada dalam sebuah jabatan tertentu pada sebuah hubungan sosial bisa memenagkan apa yang ia kehendaki walaupun dengan cara melawan. Sedangkan authority masih menurut Hoy dan Miskel adalah pegangan-pegangan dalam penundaan bagian-bagian kritisnya untuk memilih di antara berbagai alternatif dan menggunakan kriteria formal dalam penerimaan sebuah perintah atau tanda-tanda perintah sebagai basis pilihannya. Weber (1974) secara tegas menunjukkan bahwa wewenang (authority) tidak mencakup setiap model penggunaan wewenang itu sendiri, melainkan sebuah tingkatan ketaatan sukarela tertentu yang berhubungan dengan komando-komando formal.

Berdasarkan pendapat di atas, ada tiga hal yang harus menjadi satu kesatuan pembahasan menyangkut sosok kyai atau ulama’ ini sebagai pemimpin yaitu: leadership (kepemimpinan), power (kekuasaan), dan authority (kewenangan).

Soetopo mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan atau kesiapan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntut dan menggerakkan atau kalau perlu memaksa orang lain agar menerima pengaruh itu dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.

Pondok pesantren al-Amien dalam penelitian ini merupakan pondok pesantren yang telah mengalami perubahan pada-aspek-aspeknya, dari lembaga sosial pendidikan tradisional (ma’had salafiyah) kepada sistem sosial pendidikan moderen (khalaf khalafiyah), baik secara ekologis (bangunan fisik, sarana dan fasilitas pendidikan), milieu (dimensi lingkungan sosial pesantren), sistem (struktur organisasi, peran dan perilaku kepemimpinan serta manajemen pesantren), maupun culture (nilai-nilai, ideologi, paradigma dan karakter pesantren) membentuk 'iklim' pendidikan yang kondusif dan dinamis bercirikan khas keagamaan.

Sebagai indikator, bisa dilihat dari respon masyarakat memasukkan para putra-putrinya ke pondok pesantren, peran-peran budaya yang tercerminkan dari pergumulan pesantren, pelayanan sektor-sektor sosial yang dilakukan, prestasi santri di beberapa event nasional, maupun internasional, alumni tersebar dibeberapa instansi, maupun di beberapa perguruan tinggi agama, maupun umum terkemuka di dalam maupun di luar negeri, beberapa karya tulis dari para pengasuh, pengelola, ustadz, dan para santri, maupun alumni membuktikan bahwa para pemimpin di pesantren ini mampu membangun budaya dan iklim akademik yang baik sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang bercirikan khas keislaman.

Pondok pesantren al-Amien Prenduan Sumenep menganut kepemimpinan yang terorganisir dalam institusi Dewan Riasah. Lembaga ini dibentuk dalam rangka merespon perubahan, perkembangan dan kemajuan yang di capai Al-Amien sebagai karunia yang harus dipertahankan dan dikembangkan secara optimal dan berkesinambungan sepanjang masa.

Pada tanggal 11 April 2006 lembaga ini daftarkan untuk berbadan hukum dan berdiri secara otonom. Sebagai badan tertinggi di pesantren ini, Dewan Ria’sah berfungsi sebagai 'Nadhir' dari seluruh wakaf dan/atau asset kekayaan pondok peantren al-Amien. Dewan Riaasah pondok pesantren al-Amien terdiri dari ketua, wakil, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara, dengan formasi sebagai berikut: KH. Muhammad Tidjani Djauhari, MA (sebagai ketua sekaligus sebagai pengasuh), KH. Muhammad Idris Djauhari (sebagai wakil), KH. Maktum Djauhari, MA (sebagai sekretaris sekaligus Rektor IDIA), KH. Asy’ari Kafie (sebagai bendahara sekaligus pengasuh Pondok Putri I), KH. Muhammad Khairi Husni, S.Pd.I (sebagai wakil bendahara sekaligus Pengasuh TMI Al-Amien Prenduan Sumenep), KH. Muhammad Zainullah Rois, Lc. (sebagai wakil sekretaris sekaligus Pengasuh MTA al-Amien Prenduan Sumenep).

Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya Dewan Riasah dibantu sepenuhnya oleh beberapa kyai muda/yunior yang disebut 'Majli A’wan', dan beberapa Nyai yang disebut Majlis Pengasuh Putri (MPPi), serta beberapa orang guru Pondok Pesantren yang disebut 'Pelaksana Harian'. (lebih detail secara struktur organisasi bisa dilihat dalam lampiran proposal ini).

Penelitian Terdahulu Kepemimpinan Pondok Pesantren

Dari beberapa penelitian terdahulu diatas, ada beberapa aspek yang diungkap dari kepemimpinan dalam pondok pesantren, yaitu pergeseran gaya dan pola kepemimpinan , pola generasi, kepemimpinan legal formal, sumber kewenangan kepemimpinan, ketokohan kyai sebagai pemimpin ,dan keefektifan kepemimpinan dalam perspektif sistem nilai keagamaan,

Dari hasil penelitian terdahulu ini, kiranya peneliti cukup berpeluang mengembangkan profil kepemimpinan pondok pesantren yang di motivasi oleh peran "lembaga kekyaian" dalam konteks al-Amien terkoordinasi dalam Dewan Riasah, sebagai lembaga kepengasuhan, kependidikan dan lembaga panutan dalam memotivasi, mengembangkan tradisi atau iklim organisasi akademik pondok pesantren, yang selama ini terasa kurang menarik diteliti oleh ilmuwan, padahal dalam konteks pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, tradisi ini cukup menantang untuk diteliti dengan beberapa alasan tentunya.

Pertama, pondok pesantren sebagai lembaga akademik mulya (noble academic institute) yang tidak hanya mengembangkan aspek keilmuan keagamaan (islam) saja, tetapi sebagai pusat pengembangan (center of development) keilmuan secara umum sebagai bagian dari kesadaran internal kalangan pondok pesantren dan kesadaran masyarakat secara umum akan ilmu pengetahuan yang integratif.

Kedua, pondok pesantren sebagai lembaga mulya (noble institute) haruslah merubah diri secara lebih visioner dalam segala aspek, sehingga mampu mengembangkan missinya mengentaskan sosial masyarakatnya dari keterbelakangan dan krisis multi dimensional dengan kajian dan perencanaan yang lebih filosofis, ideologis, inklusif dan pada saatnya akan tercipta tradisi, relasi demokratis dan iklim akademik yang kondusif.

Ketiga adalah perilaku para pemimpin pondok pesantren sangatlah beragam dan memiliki karakteristik yang unik dalam arti sering mengalami ekstrimisme dari perilaku-perilaku yang kurang bisa difahami secara konsisten bagi kalangan di luar pondok pesantren.

Fokus dan Tujuan Penelitian

Fokus utama penelitian ini adalah profil kepemimpinan di pondok pesantren moderen al-Amien yang dijabarkan dalam sub fokus berikut.
  • Kepemimpinan di pondok pesantren al-Amien Prenduan, meliputi: model kepemimpinan, tugas dan fungsi.

  • Ghirah kepemimpinan di pondok pesantren al-Amien Prenduan, meliputi: tujuan kepemimpinan dan faktor yang berpengaruh dan

  • Perilaku kepemimpinan, dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan pembangunan tim.

Penelitian ini ingin menampilkan profil kepemimpinan di al-Amien Prenduan. Lebih jauh penilitian ini bertujuan untuk: mendeskripsikan model, tugas dan fungsi kepemimpinan di pondok pesantren al-Amien Prenduan, memahami ghirah dari kepemimpinan dan faktor yang berpengaruh di pondok pesantren al-Amien Prenduan, serta, menemukan perilaku kepemimpinan refresentatif dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan pembangunan tim di pondok pesantren al-Amien Prenduan.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan pendekatan kualitatif berjenis studi kasus. Dalam menggali data peneliti banyak menggunakan wawancara mendalam dengan para kyai fungsionaris Dewan Riasah yang merupakan lembaga kekyaian di pondok pesantren moderen al-Amien, serta dari para ustadz, pengurus harian- majlis a’wan, para santri dan para kiai yang lain, disamping juga melalui observasi partisipan. Data-data tersebut kemudian dianalisis secara interaktif.

Kepemimpinan Pondok Pesantren Masa Depan

Kepemimpinan pondok pesantren masa depan, hendaknya juga mempertimbangkan demensi-demensi keefektivan dalam mengukur keberhasilan sebagai kecenrungan dari kepemimpinan kontemporer. Gaya kepemimpinan yang spiritualis (spiritual leadership) adalah jawaban bagi pondok pesantren yang mendasarkan gaya kepemimpinannya pada nilai-nilai ke-Tuhan-an, sehingga dapat menciptakan pondok pesantren (noble institute) efektif. Standar keefektifan ini diukur dalam tiga hal: budaya organisasi yang kondusif, proses organisasi yang efektif dan inovasi dalam organisasi.

Keefektivan organisasi dan kepemimpinan dalam teori Ouchi (1981) bahwa, bukan strategi, struktur dan sistem yang lebih banyak menentukan keberhasilan organisasi, melainkan budaya organisasi, hanya saja perbedaan antara konsep kepemimpinan spiritual dengan teori Z Ouchi adalah kalau Ouchi teorinya terletak pada sumber nilai budaya yang diderivasi dari paradigma nilai-nilai budaya yang dimaksud, sedangkan kepemimpinan spiritual, nilai-nilai budaya diderivasi dari nilai-nilai spiritual etis religious yang berasal dari nilai dan tindakan etis Tuhan terhadap hamba-Nya. Karena dalam pandangan agama, manusia lahir dengan membawa fitrah (naluri) dan sibghah (blue print) tentang keberadaan Tuhan dalam dirinya, karena itu budaya yang dimaksud dalam konteks kepemimpinan spiritual ini adalah pengungkapan iman dalam kehidupan sehari-hari dan refresentasi Tuhan dalam organisasi.

Abdurrahman Wahid (Horikosi, 1987: xvii) menyebutkan bahwa di balik kebekuan lembaga-lembaga keagamaan, seringkali didapati kemampuan para pemimpinnya untuk merumuskan ajaran-ajaran baru yang membawa kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Demikian juga para pemimpin pesantren dengan peran-peran ideologi yang dianutnya, tercetus sebuah perubahan-perubahan yang mendasar, karena para pemimpin pesantren sebenarnya sadar dengan sebuah qaidah fiqhiyah yang berbunyi 'al-muhafadlatu ala al-qadimi al-shalih, wal akhdzu bi al-jadid al-aslah'.

Berdasarkan beberapa kearifan para pemimpin dalam memahami kepemimpinan yang didasarkan pada ideologi dan dimensi ke-Tuhan-an dimunkinkan mengembangkan iklim dan budaya pondok pesantren yang lebih efektif dalam pembangunan budaya akademik yaitu kepemimpinan pesantren yang mampu berperan sebagai seorang tokoh pembaharuan, ruhaniawan, relawan dan voluntir yang pandai menarik simpati masyarakatnya, oleh karena itu pesantren sebagai sismtem sosial pendidikan adalah noble institute yang memiliki dimensi organisasi profit, sosial dan dakwah. Sehingga pondok pesantren dengan figur kyai (ulama’), sangatlah potensial memainkan peran dan perilaku kepemimpinan berbasis nilai-nilai ke-Tuhan-an ini (baca: Ulama’ adalah pewaris para Nabi-al-Ulama’u Waratsatu al-An-biya’).

Kepemimpinan Pondok Pesantren al-Amien Prenduan Sumenep Madura
  1. Model Kepemimpinan Kolektif
    Pondok pesantren al-Amien Prenduan yang didirikan pada tahun 1952 oleh (almarhum) KH. Ahmad Djauhari Chotib, mengalami perkembangan yang sangat pesat dan representatif di kalangan pondok pesantren secara nasional maupun internasional. Pada saat ini pondok pesantren al-Amien merupakan kepemimpinan generasi kedua sejak sepeninggal (almarhum) pendiri pertama itu al-Amien masih bernama pondok pesantren Tegal dan saat ini masih terpelihara sebagai bagian dari pondok pesantren al-Amien secara keseluruhan.

    Menyadari akan tanggung jawab para putra penerusnya, kemudian pondok pesantren ini dipimpin bersama oleh KH. Tidjani Djauhari, MA., KH. Idris .Djauhari, KH. Maktum Djauhari, KH. Asy’ari Kafie, KH. Muhammad Khairi Husni, S.Pd.I, dan KH. Muhammad Zainullah Rois, Lc.

    Para tiga kyai di depan merupakan kyai nasab keturunan langsung (almarhum) KH. Ahmad Djauhari Chotib, satu setelahnya adalah kyai nasab sepupu dan dua dari terakhir adalah kyai di luar nasab yang direkrut atas nama yayasan sebagai pimpinan di lingkungan pondok pesantren al-Amien yang kemudian membentuk wadah bernama Dewan Riasah Pondok Pesantren al-Amien Prenduan yang selanjutnya disingkat DR-PPAP resmi berbadan hukum sejak hari Selasa tanggal 12 Rabiul Awal 1427 H bertepatan tanggal 11 April 2006.

    Dewan Riasah sebagai organisasi formal kekyai an dilingkungan pondok pesantren al-Amien Prenduan didistribusi dengan mekanisme kerja yang jelas terarah atas dasar hubungan kekeluargaan dan kepesantrenan memiliki tiujuan umum menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadist, membentuk karakter/kepribadian ummat yang beriman sempurna, berilmu luas, dan beramal sejati serta memiliki kesadaran untuk beramal sholeh bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa (AD. ART. DR-PPAP).

    Dewan Riaasah merupakan organisasi yang mewadahi kepemimpinan dilingkungan al-Amien Prenduan secara kolektif. Kolektivitas kepemimpinan di al-Amien ini merupakan bentuk kemajuan dari model kepemimpinan pondok pesantren secara umum. Di al-Amien ini para kyai rata-rata berasal dari kyai kerabat dan sebagian pula dari kyai dari luar kerabat yang dituakan karena ilmu pengetahuan yang dimiliki serta loyalitas pada al-Amien. Hal ini diakui oleh KH. Khoiri Husni, S.Pd.I bahwa dirinya bukanlah kerabat, tapi mengapa akhirnya beliau dipercaya di al-Amien.

    Dimasa sekarang ini memang kepemimpinan partisipatif sangatlah dibutuhkan sebagai upaya modernisasi kepemimpinan masa depan pesantren, karena selama ini dengan model kepemimpinan yang terbatas pelaksanaannya dilapangan terasa sangat sulit seiring dengan konfleksitas persoalan yang dihadapi pesantren, yang pada gilirannya akan mengganggu proses keberlangsungan eksistensi pesantren, terutama sepeninggal si kyai. Oleh karena itu dimasa mendatang dibutuhkan kepemimpinan yang lebih terarah pada pembagian tugas, kekuasaan, hak dan wewenang yang jelas.

    Temuan dari kepemimpinan kolektif di al-Amien dimungkinkan pembagian tugas, kekuasaan, hak, dan wewenang itu karena kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang secara situasional dapat memenuhi segala yang dibutuhkan oleh komunitas lembaga, dimana suatu saat seorang pemimpin harus bersikap otoriter, delegatif, instruktif dan partisipatif. Pada saat seorang manajer membangun suatu ide inovatif dan kemudian mensosialisasikan menjadi program dibutuhkan sebuah kekuasaan (power) dan kewenagan (authority) sebagai sebuah mainstream. emikian juga pada saat tertentu harus delegatif sesuai dengan kewenagan dan kemampuan pimpinan itu, pada saat ini sangat sulit kiranya menemukan sosok pimpinan yang sempurna (baca: kepemimpinan Nabi saw), sehingga melalui kepemimpinan kolektif inilah semua kekuatan akan terpenuhi dari karakter dan kepribadian masing-masing anggota pemimpin.

    Ciri dari kepemimpinan kolektif di al-Amien ini adalah sistem musyawarah seiap selasa pagi antara anggota Dewan Riasah yang dihadiri minimal 5 orang anggota, senin sore musyawarah pengurus-pengurus unit yang dihadiri seluruh unit pendidikan dan lembaga dilingkungan al-Amien ditambah sebagain pengurus Dewan Riasah.


  2. Tugas dan Fungsi Dewan Ria’sah
    Kepemimpinan di al-Amien mencerminkan pola kepemimpinan yang partisipatori, yang dipengaruhi oleh tugas dan fungsi Dewan Riasah yang seringkali mengalami kendala terutama disaat pondok pesantren mengalami masa keemasan terus tiada penerus yang lebih mempuni dari generasi sebelumnya. Istilah dari para pimpinan di al-Amien adalah keberlangsungan dan kontinuitas-nya amma ba’du-nya [tindak lanjutnya di masa-masa mendatang] bagaimana mereka belajar, dari keyakinan yang sudah ada, dari konsep-konsep yang sudah mereka terima, semacam mainstream, termasuk hambatan, bagaimana seorang pimpinan menjabarkan sebuah tradisi dan program menjadi sebuah kerja-kerja profesional, itu diperlukan bimbingan lanjutan, ketergantungan karena kesungkanan yang lebih besar.

    Tugas dan fungsi Dewan Riasah mempunyai tiga fungsi: pertama sebagai lembaga tertinggi dilingkungan al-Amien, dalam proses pengambil kebijakan tertinggi di pondok pesantren dan seluruh lembaga-lembaga yang ada di al-Amien melalui Dewan Riasah , kedua sebagai nadzir wakaf yang bertanggung jawab terhadap aset-aset pondok pesantren al-Amien dan ketiga tugas dan fungsi sebagai pendiri dan pembinan.

Ghirah Kepemimpinan di Pondok Pesantren al-Amien Prenduan

  1. Tujuan Kepemipminan Kolektif
    Tujuan dibentuknya Dewan Riasah sebagai lembaga kekyai an dalam kepemimpinan kolektif di al-Amien adalah:
    • Kepemimpinan pondok pesantren di masa-masa mendatang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mengingat kompleks persoalan yang dihadapi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif.

    • Menghindari tindakan dan perilaku otoriter dari kalangan pimpinan pondok pesantren, dimana selama ini pondok pesantren dikenal dengan kepemimpinan yang otokrasi yang tidak melibatkan orang banyak nan pada gilirannya menghambat keberlangsungan eksistensi pondok pesantren.

    • Mencari kemaslahatan kebijakan sehingga unsur-unsur pimpinan yang lain bisa duduk bermusyawarah dalam menemukan ide-ide dan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan legal formal.

    • Merencanakan program dan mensosialisasikan sesuai dengan kapasitas wewenang dari masing-masing pimpinan keseluruh lapisan unit-unit tingkat bawah.

    • Kebersamaan karena lingkungan secara umum mengehendaki kebersamaan itu sehingga apabila menghadapi berbagai problematik senantiasa dipecahkan bersama terutama disaat pimpinan yang kurang mampu [kompeten] sehingga pondok pesantren dinamis, tidak kaku, penuh dengan progran inovasi [perubahan] dan relevan dengan dunia global.


  2. Faktor yang Berpengaruh

    Perilaku pendukung dari para kepemimpinan kolektif (Dewan Riasah ) di lingkungan pondok pesantren al-Amien dalam kelangsungan kepemimpinan kolektif ini sangat dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor ini merupakan maziah dan keistimewaan tersendiri yang dapat memberikan nuasa beragam perilaku kepemimpinan di al-Amien. Secara umum dari hasil temuan penelitian, para kyai di al-Amien memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengelolaan lembaga, secara khusus mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing antara lain:
    • Faktor Kepribadian Kyai.
      Karakter dan kepribadian kyai di al-Amien sangat beragam, ada kyai yang mempunyai karakter inovator dan inisiator seperti sosok KH. Tidjani Djauhari, MA secara operasional tidak terlalu banyak kedalam, namun beliau fokus pada urusan (relasi) keluar, pondok, daerah, dalam negeri, dan bahkan luar negeri, beliau sangat piawai dalam berkomunikasi dengan lemaga-lembaga diluar al-Amien, dengan kata lain Kyai Tijani itu khusus pada syiar al Amien.
      Sementara KH. Idris Djauhari lebih menekankan pada inovasi dan inisisi program di dalam pondok, terutama program penkaderan dan kepemimpinan, bagaimana pembinaan dan cara-cara kepemimpinan, baik bagi santri maupun pada staf-taf dan ustadz-ustadz di al-Amien, hal ini bisa dilihat dari performance kepribadian dalam kepemimpinan beliau begitu tinggi sebagai orang kerja. Satu hal sebagai kepiaian dari kyai ini adalah kedekatan dengan masyarakat sekitar pondok pesantren al-Amien, termasuk kegiatan-kegiatan kemsayarakatan kecil, untuk masyarakat elit beliau merasa bahwa sudah ada kyai Tidjani.
      Kemudian sosok kyai Maktum Djauhari memang bergelud dengan dunia ilmu dan akademisi, sehingga yang berurusan dengan keilmuan beliau yang menangani, terutama bidang aqidah, filsafat dan tasawwuf, diketahui beliau adalah Guru Master bidang Aqidah Islamiyah. Kepiawaian dalam bidang keilmuan ini beliau diserahi tanggung jawab sebagai Rektor Ma’had ‘Aly dan IDIA [Institus Dirasah Islamiyah Al-Amien]. Sementara keterbatasan dari masing masing kyai diatas adalah kyai Tidjani lebih pasrah kepada bawahan, kurang seselektif, termasuk dalam penerapan sanksi kyai Tidjani ibarat perilaku sayyidina Abu Bakar ra, artinya beliau lebih independen, demokratis lebih memasrahkan, bahkan cenderung agak laisser, tetapi pada hal-hal yang krusial beliau juga kadang-kadang bersikap tegas.
      Pada penerepan hukum beliau banyak mengambil hukum-hukum ala Nabi Muhammad swa banyak toleransi dsb. Sedangkan kyai Idris sangat selektif lebih agressif dan pendobrak, diistilahkan oleh kalangan santri ibarat Sayyiina Umar ra, dengan penerapan hukum Daut-nya. Sementara kyai Maktum ini lebih pleksible, dan terkadang banyak diam apabila ada yang kurang disukai, namun demikian karakter kedua kakanya diatas tercermin dari sosok kyai Maktum ini.
      Sedangkan kyai Asy’ari Kafie lebih banyak diam dan mengikuti segala keputusan yang ada, demikian juga kyai Khoiri Husni dan kyai Zainullah Rois, Lc yang banyak manut kepada kebijakan-kebijakan yang ada, hal ini terbukti saat peneliti mengamati persidangan tigkat Dewan Riasah , mereka bertiga lebih banyak passif, apa karena kepatuhannya terhadap para kyai nasab yang secara psikologis dibatasi oleh kebiasaan dan kecanggungan sebagai santri alumni.

    • Faktor Pendidikan Kyai
      Kyai di al-Amien adalah rata-rata alumni Gontor, bahkan semua putra-putri kyai disana wajib pernah mondok di Gontor. Kyai Tidjani latar belakang pendidikannya di pondok pesantren Gontor, hingga mempersunting putra kyai Gontor, KH. Zarkasyi, kemudian melanjutkan ke Madinah (S1 dan S2), sedangkan kyai Idris pendidikannya hanya di Gontor saja setelah dari Gontor beliau melanjutkan ke IAIN Sunan Ampel di Pamekasan, dan kyai Maktum, pendidikannya di Gontor, Madinah dan kemudian S2 di Mesir. Kyai Zainullah Rois, Lc di Ummul Quro Mekkah, kyai Asy’ari Kafie alumni pondok pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggi hingga jenjang S2 di IAI-Nurul Jadid dan KH. Khoiri Husni adalah alumni pertama TMI al-Amien Prenduan. Berdasarkan latar belakang pendidikan ini sangatlah mempengaruhi dalam peran-peran kepemimpinan di al-Amien, baik secara intelektual, maupun relasi dan nilai-nilai kritis terhadap pengembangan al-Amien.

    • Faktor Pengalaman organisasi Kyai
      Pengalaman di masa pendidikan sangatlah berpengaruh dalam pembentukan, pribadi dan kepemimpinan. Kyai Tidjani sewaktu masih di Timur Tengah itu, pernah menjadi dewan penasehat Robitoh Alam Islami, Kalau Kyai Maktum ini berpengalaman bergaul dengan mahasiswa luar Indonesia di Madinah dan di Mesir sehingga kesan budaya yang berbeda dari dirinya sebagai orang Indonesia memungkinkan memahami makna budaya dan etnis masyarakat lainnya sehingga sikapnya yang lebih pluralis dan toleran tercermin dari perilakunya setiap hari dalam mengurusi mahasantri dan mahasiswa. Kyai Idrikirim khusus dalam perintisan al-Amien.
      Demikian juga para kyai lainnya seperti kyai Khoiri Husni, kyai Zainullah Rois, dan kyai Asy’ari Kafie, mereka paling tidak memiliki pengalaman organisasi yang memungkinkan terbawa pada suasana perilaku Dewan Riasah . Oleh karena itu temuan dari pengalaman organisasi ini sangat mempengaruhi dalam berdemokrasi dan keterbukaan.


Perilaku kepemimpinan Kolektif dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan pembangunan tim di pondok pesantren al-Amien Prenduan
  1. Pengambilan Keputusan
    Pengambilan keputusan di pondok pesantren al-Amien senantiasa dilakukan dengan musyawarah mufakat dari jajaran level santri, organisasi santri, guru, pengurus, hingga pada level atas Majlis A’wan dan Dewna Riasah.
    Dewan Riasah sangat fungsional sebagai pimpinan dan pengasuh, maupun sebagai manajer yayasan. Sementara secara pribadi sebagai figur kekuatan moral (moralforce). Dalam proses pengangkatan kyai di Dewan Riasah juga memerlukan pertimbangan yang matang dan proses seleksi, dengan syarat-syarat tertentu seperti punya penghasilan sendiri, tidak sampai menggantungkan hidupnya pada pondok.
    Demikian juga dalam proses pengambilan keputusan dalam perencanaan pendanaan pondok melalui proses dan musyawarah. Para kyai di al-Amien tidak memegang keuangan pondok, tetapi kyai harus tahu kemana keluar dan masuknya dana, kyai cukup menerima laporannya saja dari bendahara pencatat keuangan. setiap tanggal 27 Masehi seluruh unit pondok, termasuk pelaporan kepada kepada badan pengawas keuangan masing-masing, disamping itu para kyai sebagai pimpinan menyetujui saja sehingga semua urusan mudah, resiko kecil dan pelaporannya juga gampang, karena setiap pengeluaran telah disepakati bersama dari tiga bagian, yaitu
    1. pihak yang mengeluarkan pihak bendahara,

    2. yang menerima pihak yang mengajukan dan

    3. yang menyetujui pihak pimpinan yayasan / pondok.


    Dari hasil temuan, al-Amien kyai secara personal terbatasi kewewenangan (outhority) yang diatur dalam norma-norma dasar Dewan Ri’asah, sehingga kebijakan dan kekuasaan (power) tidak terpusat kepada satu figur kyai , melainkan ada dalam kepemimpinan kolektif di Dewan Riasah sehingga segala kebijakan berasal dari bawah atas pertimbangkan manfaat, modlorot dan mafsadat nya oleh para pimpinan dan kemudian menjadi kebijakan para pimpinan di al-Amien.

    Keterlibatan para komunitas di pondok pesantren al-Amien terutama keterlibatan emosional memperkaya kebijakan yang diambil, keterlibatan itu juga dimaksudkan sebagai bentuk sosialisasi awal, agar setiap personal memahami dengan jelas tugas dan tanggung jawabnya dan kebijakan yang diambil bersama mengikat untuk semua pihak ambil bagian berada dalam kebijakannya sendiri.

    Contoh pengambilan keputusan yang partisipatif yang dilakukan Dewan Riasah adalah enam orang dari anggota Dewan Riasah bermusawarah dalam ketentuannya minimal dihadiri lima orang, kemudian sekretaris yayasan menyiapkan agenda dulu, kemudian kita tentukan masalah apa, proses pengambilan keputusannya, dengan Bismillah dari hasil musyawarah berijtihad memutuskan dan disosialisasikan.

    Oleh karena itu keputusan akhir (kalam akhir di pimpinan kolektif) yang sebelumnya telah melalui proses melalui sosialisasi dari bawah, sehingga dari hasil temuan dial-Amien tidak ditemukan keputusan otoriter, atau keputusan per individu.


  2. Penyelesaian Konflik dan Pembangunan Tim
    Dalam menyelesaikan konflik-konflik dan perbedaan pandangan atau perilaku agresi dari para santri, pondok pesantren al-Amien menyerahkan kepada komunitas atau unit-unitnya secara otonomi, karena secara normatif telah di atur dalam aturan norma yang berlaku melalui majlis mahkamah masing-masing unit kecuali ada persoalan krusial yang menyangkut nama baik al-Amien yang harus ditangani oleh Dewa Riasah, melalui proses penyelesaian dan pada keputusan akhir pada penyelesaian tajdidul bai’at (memperbaiki perjanjian semula).

    Kasus menyangkut guru pun al-Amien tidak segan memberikan sanksi dan penyelesaian hingga pada proses akhir tajdidul bai’at, bahkan pada kasus pemecatan, hal ini karena kompensasi atau kesejahteraan yang diberikan kepada guru cukup memadahi ditambah pasilitas kesejahteraan lainnya berupa pendidikan putra-putranya gratis, serta ketersediaan perumahan bagi sebagian guru.

    Ada tradisi yang menarik dari penyelesaian konflik di al-Amien, para mahkamah mengumumkan (i’lan), tentang santri yang kasus atau berkonflik setiap sebelum sholat fardu ashar dan isya’, sehingga saat sholat berjemaah selesai mereka dipanggil dan diadili di rangen Al-Kautsar melalui mahkamah masing-masing, baik mahkamah bahasa, masjid, syariah, akhlaq, mahkamah disiplin, dan mahkamah lingkungan, sedangkan sanksinya bersifat edukatif, keceuali mereka yang kasus pelanggaran berat diberhentikan dengan hormat, seperti pulang tampa minta ijin pengurus. Sedangkan pelanggaran bahasa adalah karena tidak menggunakan bahasa asing sesuai areal dan dan waktu yang telah menjadi ketentuan.

    Pondok pesantren al-Amien dalam pembangunan soliditas tim dari kepemimpinan bersama ini menjaga komunikasi yang aktif dan terbuka dikalangan pengurus sehingga tidak ada miskomunikasi, karena menurut para pimpinan disana kekompakan itu memang sangat tergantung komunikasi, sering tidak kompak itu hanya karena miskomunikasi, tapi begitu ada penjelasan dari pihak yang tidak dikompaki.
    Kedua melalui manajemen konflik sehingga konflik menjadi kekuatan.
    Ketiga pelibatan peran Nyai atau istri [kyai] dari Dewan Riasah. Pada saat-saat tertentu para istri kyai ini manggil pihak-pihak terkait diberi pengarahan dan penyadaran oleh beliau sehingga para Nyai disini sebagai manager sangat besar peranannya.dalam membangun kekompakan


Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian secara mendalam tentang profil model dan perilaku kepemimpinan yang peneliti lakukan di al-Amien dapat diambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama: Pondok Pesantren al-Amien menganut kepemimpinan secara kolektif, dimana konteks kepemimpinan kolektif dalam perspektif al-Amien adalah kepemimpinan yang dilakukan secara berkelompok dalam suatu wadah Dewan Riasah dengan pembagian tugas yang jelas, peran dan wewenag yang telah diatur dengan tujuan yang mulya yaitu menjunjung tinggi dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama Islam dari sumbernya (al-Qur’an dan al-Hadist), membentuk karakter/kepribadian santri yang beriman sempurna, berilmu luas, dan beramal sejati serta memiliki kesadaran untuk beramal sholeh bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa.

Kedua, ada tiga tugas dan fungsi dari Dewan Riasah:

Pertama Sebagai lembaga tertinggi dilingkungan al-Amien, dalam proses pengambil kebijakan tertinggi di pondok pesantren dan seluruh lembaga-lembaga yang ada di al-Amien

Kedua Sebagai nadzir wakaf yang bertanggung jawab terhadap aset-aset pondok pesantren al-Amien

Ketiga Tugas dan fungsi sebagai pendiri dan pembina, menyangkut kepengasuhan, pendidikan dan panutan (uswah hasanah)

Ketiga kepemimpinan kolektif dalam konteks Dewan Riasah di pondok pesantren al-Amien ini mempunyai tujuan yang jelas karena beberapa hal, kepemimpinan pondok pesantren di masa-masa mendatang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak mengingat kompleks persoalan yang dihadapi pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan alternatif, menghindari tindakan dan perilaku otoriter dari kalangan pimpinan pondok pesantren, dimana selama ini pondok pesantren dikenal dengan kepemimpinan yang otokrasi yang tidak melibatkan orang banyak. Dan pada gilirannya menghambat keberlangsungan eksistensi pondok pesantren, mencari kemaslahatan kebijakan sehingga unsur-unsur pimpinan yang lain bisa duduk bermusyawarah dalam menemukan ide-ide dan keputusan-keputusan yang mempunyai kekuatan legal formal.

Merencanakan program dan mensosialisasikan sesuai dengan kapasitas wewenang dari masing-masing pimpinan keseluruh lapisan unit-unit tingkat bawah dan kebersamaan karena lingkungan secara umum mengehendaki kebersamaan itu sehingga apabila menghadapi berbagai problematik senantiasa dipecahkan bersama terutama disaat pimpinan yang kurang mampu [kompeten] sehingga pondok pesantren dinamis, tidak kaku, penuh dengan progran inovasi [perubahan] dan relevan dengan dunia global.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pemimpin dalam kepemimpinan kolektif di pondok pesantren al-Amien adalah kepribadian dan karakter mulya kyai (maziah), latar belakang pendidikan kyai, dan faktor pengalaman organisasi kyai.

Dalam pengambilan keputusan di pondok pesantren al-Amien senantiasa dilakukan dengan musyawarah mufakat dari jajaran level santri, organisasi santri, guru, pengurus, hingga pada level atas Majlis A’wan dan Dewna Riasah. Kyai tetap sebagai figur kekuatan moral (moral force) dalam menupang segala keputusan dan keputusan akhir (kalam akhir) tetap pada hasil musyawarah Dewan Riasah yang sebelumnya telah melalui proses melalui sosialisasi dari bawah, sehingga dari hasil temuan di al-Amien tidak ditemukan keputusan otoriter, atau keputusan per individu.

Penyelesaian konflik di pondok pesantren al-Amien diserahkan kepada majlis mahkamah masing-masing lembaga kecuali ada persoalan krusial yang menyangkut nama baik al-Amien yang harus ditangani oleh Dewa Riasah, melalui proses penyelesaian dan pada keputusan akhir pada penyelesaian tajdidul bai’at (memperbaiki perjanjian semula) atau sampai pada batas skorsing.

Tradisi penyelesaian konflik di al-Amien yang menyangkut santri melalui mengumumkan (i’lan), dan pada setiap setelah sholat fardu ashar dan isya’, ada pemanggilan dan diadili di Rangen Al-Kautsar melalui mahkamah masing-masing, baik mahkamah bahasa, masjid, syariah, akhlaq, mahkamah disiplin, dan mahkamah lingkungan.

Dalam pembangunan tim para pimpinan di al-Amien Prenduan adalah dengan menjaga komunikasi yang aktif dan terbuka dikalangan pengurus sehingga tidak ada miskomunikasi, karena para pimpinan di al-Amien yakin bahwa kekompakan sangatlah tergantung dari komunikasi yang baik, serta melalui upaya yang dilakukan adalah; pertama melalui manajemen konflik sehingga konflik menjadi kekuatan, kedua pelibatan peran Nyai atau istri [kyai] dari Dewan Riasah. Melalui pengarahan dan penyadaran akan tanggung jawab sebagai santri, pengurus, asatidzah dan pemimpin.

Rekomendasi

Perilaku kepemimpinan kolektif di Pondok Pesantren al-Amien, kiranya mengilhami pola-pola kepemimpinan pondok pesantren yang selama ini dipimpin secara tradisional dan kompensional. Pembagian kewenagan dan kuasa, serta tugas dan fungsi kepemimpinan akan semakin jelas dan terarah, karena menurut peneliti problem yang akan diahadapi pondok pesantren dimasa-masa mendatang semakin tinggi dan kompleks, sehingga representasi kepemimpinan kolektif semakin mungkin untuk modalitas perilaku kepemimpinan yang situasional, hal ini dapat difahami dari krisis kepemimpinan pondok pesantren saat ini, yang mengalami prokhialisme dan kebuntuan-kebuntuan berdemokrasi, ditambah lagi dengan problem sosial yang membutuhkan pelayanan yang lebih partisipatoris dan akuntable.

Pilihan al-Amien dalam memposisikan para kyai nasab maupun di luar nasab sangat tepat dimasa-masa ini sehingga dalam menentukan kebijakan, penyelesaian komflik dan pembangunan teamnya akan semakin memperkuat posisi al-Amien sebagai bagian dari pondok pesantren moderen yang dikelola dengan manajemen dan kepemimpinan situasional moderen.

Hal-hal yang perlu kiranya semakin mendapat perhatian semua kalangan, khususnya cendikia yang respek terdahap keberadaan dan pengembangan pesantren dimasa-masa mendatang adalah relasi kyai dengan masyarakat serta stakeholders sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan, sehingga pondok pesantren betul-betul mampu bersama-sama menjawab dan menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat santri.

Daftar Rujukan

  1. A’la, Abd, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006).

  2. Al-Amien, Warkat-Jurnal Informasi Tahunan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Dewan Redaksi (Sumenep: Al-Amien Printing, 2006).

  3. Amin, Masyhur, Dinamika Islam: Sejarah Transformasi dan Kebangkitan Ulma, (Yogyakarta: LKPSM, 1995)

  4. Anderson, Carolyn S. The Search for School Climate, (Review of Education Research, 1982)

  5. Arifin, Imron, Penelitian Kualitatif Dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaa, (Malang: Kalimasahada, 1996)

  6. Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu1999)

  7. Atiqullah, Reorientasi Sistem Pendidikan Pondok Pesantren; Dari Sistem Pendidikan Khalaf kepada Sistem Pendidikan Khalaf (Tesis, Tidak diterbitkan, 2004).

  8. Atiqullah, Pengantar Psikologi Agama, (Pamekasan: STAIN Press, 2006)
    Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia (Jakarta: Paramadina/Pustaka Antara, 1999)

  9. Bawani, Imam, Segi-segi Pendidikan Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1987)

  10. Bogdan, Robert C. & Biklen, Sari Knopp. Qualitative Research in Education, an Introduction Theory and Methods (USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Date, 1998).

  11. Creswell, John W. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, (USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Date, 1994)

  12. Dhofier, Zumakhsyari, Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kya, (Jakarta: LP3ES, 1994)

  13. Dirdjosanjoto, Pradjarta, Memelihara Umat : Kyai Pesantren-Kyai langgar di Jawa, (Yogyakarta: LKiS, 1999).

  14. Eksan, Moh,. Kyai Kelana:Biografi Kyai Muchid Muzadi, (Yogyakarta: LKIS, 2000)
    Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: LKIK, 1998)

  15. Horikoshi, Hiroko, 1976. A Traditional Leader in a Time of Change : The Kijaji and Ulama in West Java, The University of Illinois at Urbana-Chapaign, USA Terjemahan Umar Basalim dan Andi Muarly Sunrawa, Kyai dan Perubahan Sosial (jakarta: LP3ES, 1987).

  16. Hoy, K. Wayne & Miskel, G. Cecil,. Educational Administration, Theory, Research and Practice, (Singapore: McGraw-Hill, 2001)

  17. Ibrahim, Suhandi, Idi dan Dedi Djamaludin Malik, Hegemoni Budaya (Yogyakarta, Yayasan Bentang Budaya, 1997)

  18. Johnson, C. Merle (ed), Handbook af Organizational Performance (Jakarta: Pt. RajaGrafindo Persada, tampa tahun)

  19. Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesi (Surabaya: Kartika, 1997)

  20. Kartodirjo, Sartono, Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984)

  21. Komariah, Aan dan Triatna, Cepi, Visionary Leadership, Menuju Sekolah efektif (Jakarta: Pt. Bumi Aksara, 2005)

  22. Liliweri, Alo,. Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997)
    Maarif., Syafi’i. Islam: Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997)

  23. Maksum, Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

  24. Mantja, Willem, Profesionalisme Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran (Malang: Elang Mas, 2007)

  25. Mas’ud, Abdurrahman,. Dari Haramain Ke Nusantara : Jejak Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada media Group, 2006)

  26. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994)

  27. Mastuhu. Meberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999)

  28. Miles, Matthew B., dan Huberman, A. Michael. Qualitative Data Analysis, Terjemahan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi (Jakarta: UI-Press, 1992)

  29. Moh. Kosim, dkk, Pondok Pesantren di Pamekasan (Pertumbuhan dan Perkembangannya) (Pamekasan: P3M STAIN Pamekasan, 2003)

  30. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Rosda Karya, 2004)

  31. Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Serasin, 1996)

  32. Munandar, A.S, dkk, Peran Budaya Organisasi dalam Unjuk Kerja Perusahaan, (Jakarta: Bagian Psikologi Industri dan Organisasi, Fak. Psikologi UI, 2004)

  33. Munir Mulkhan, Abdul, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisional Pesantren: Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998)

  34. Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)

  35. Ndraha, Taliiduha, Budaya Organisasi (Jakarta: Renika Cipta, 2003)

  36. Ouchi, William, Theory Z: How American Business Can Meet the Japaness, (Addison-Wesley, 1981)

  37. Owens, Robert G, Organzational Behavior in School (The United States of America, 1987)

  38. Pidarta, Made, Landasan Kependidikan (Jakarta: Renika Cipta, 1997)

  39. Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES, 1995)

  40. Ramdhani, Ali, dan Suryadi, Kadarsah, Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1998)

  41. Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2003)

  42. Robbins, Stephen P. Organizational Behavior (Jakarta: Terjemahan oleh Tim Indeks, Gramedia, 2003)

  43. Soekanto, Soerjono, Beberapa Teori SosiologiTentang Struktur Masyarakat (Jakarta: Penerbit Radar Jaya Ofsett, 1984)

  44. Soekanto, Soerjono,. Sosiologi, Suatu Pengantar (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2002)

  45. Soetopo, Hidayat, Kepemimpanan dan Supervisi Pendidikan (Surabaya: Bina Aksara,. 1982)

  46. Sonhaji, A., Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Makalah Seminar Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Malang: PPS IKIP Malang, 1977)

  47. Stanbrink, Kareel A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam Dalam kurun Moder (Jakarta: LP3ES, 1994)

  48. Suaidi, Ahmad,. Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi (Jakarta: LKiS dan P3M, 2000)

  49. Suhandijah, Pengembangan dan Inovasi Kuriukulum (Jakarta: Raja Grafindo, 1993

  50. Sukamto,. Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1999)

  51. Syaifuddin, AM. et. al., Desekularisasi Pemikiran; Landasan Islamisasi (Bandung: Penerbit Mizan, 1993)

  52. Tagiuri, Renato. Organizational Climate; Exploration of a Concept (Boston: Harvard University, 1968)

  53. Thoha, Miftah, Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 1996)

  54. Universitas Negeri Malang. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (Malang:. Departemen Pendidikan Nasional 2000)

  55. Usman, Husaini, Manajemen, Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Pt. Bumi Aksara, 2006)

  56. Yukl, Gary A.,. Leadership in Organizations. Terjemahan oleh Yusuf Udaya. (Jakarta:. Prenhallindo, 1994)

  57. Zaini, Wahid A., Dunia Pemikiran Kaum Santri (Yogyakarta: LK PSM NU DTY, 1994)
  58. Zarkasyi, Imam, Merintis Pesantren Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996)

  59. Zuhairini dkk. Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997)

(Makalah Jurnal Nuansa)

Label: ,

3 Komentar:

Pada 4 Desember 2011 pukul 07.54 , Blogger zultuahkifli mengatakan...

sangat bagus sekali artikelnya, sangat membantu

 
Pada 3 Desember 2012 pukul 17.12 , Blogger Elsya Arifin mengatakan...

ini penelitian untuk program magister di mana pak?
kalau diizinkan, penelitian bapak saya jadikan orisinalitas penelitian saya (magister PAI)





 
Pada 26 Maret 2013 pukul 08.24 , Blogger Aryo mengatakan...

ini penelitian di mana pak? bagus sekali untuk referensi penelitian

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda